Iklan saya

header ads

Kisah Adithya 16 Tahun Tak Punya Laptop Kini Jadi Mentor 3000 Programmer

Timeoke_Aceh Besar – Semua itu dimulai dari tingginya rasa penasaran atau ingin tahu terhadap game di ponsel dan komputer PC, membuat Adithya Firmansyah Putra, seorang siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 1 Majalengka tertarik untuk berkecimpung di dunia pengembangan perangkat lunak (Software).

Sering bermain game sejak duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), tak lantas membuatnya kecanduan seperti anak seusianya. Sisi lain dalam dirinya berkeinginan untuk mengetahui bagaimana suatu game dibuat, hingga dapat dimainkan oleh penggunanya.

Singkat cerita, pada tahun 2017 ketika duduk di bangku dari sekolah menengah pertama (SMP), ia mengaku sering pergi ke warung internet (Warnet) untuk bermain game.

Di warnet itulah, Adhit, panggilan akrab bocah yang kini berusia 16 tahun itu belajar dunia programing lewat kanal Youtube, Sekolah Koding. Lewat cara otodidak dan hanya bermodal pulpen dan buku karena belum punya laptop, ia jadi paham cara membuat game, bahasa pemrograman, hingga mendesain sebuah aplikasi.

"Entah kenapa dapat teguran dari alam, kenapa saya enggak buat game-nya. dari situlah saya mulai cari tahu, lalu saya tulis di buku. Nanti biar mudah saya running kalau sudah punya laptop,"

Adithya mengatakan dirinya mulai disibukkan dengan kanal Sekolah Daring tersebut hingga paham tentang koding meski tidak memiliki perangkat laptop. Namun keadaan berubah kala ia masuk SMK. Ayahnya membelikan sebuah laptop yang digunakan untuk menunjang pendidikan di jurusan Rekayasa Perangkat Lunak (RPL).

"Awalnya pas SMP saya minat videografi, karena ayah saya punya kamera. Ketika saya masuk jurusan RPL dan tidak punya laptop, ayah saya jual kamera itu untuk beli laptop," kata anak kelahiran 13 Juni 2004 itu.

Ia menuturkan mulai berani berkecimpung di dunia programing sejak awal 2020 lalu. Ketika ia diajak temanya untuk mengikuti kompetisi pembuatan game berskala nasional, di tingkat SMK.

Di kompetisi itu ia bersama seorang temanya membuat game ber-genre Role-Playing Game (RPG) yang isinya tentang seorang polisi bersenjata hand sanitizer dan berpatroli sembari mengimbau kepada masyarakat untuk tetap di rumah atau Stay at Home.

"Karena keadaan lagi pandemi Covid-19, saya dan teman saya bikin game sejenis RPG. Walaupun enggak masuk nominasi terbaik, tapi saya cukup senang bisa bikin game seperti itu," ujarnya.inya membuat game menjadi batu loncatan untuk mengasah dan mengembangkan kemampuan di bidang programing. Ia bersama beberapa temanya berkeinginan untuk mengembangankan aplikasi berbasis pendidikan.

Platform itu nantinya dilengkapi dengan beberapa fitur untuk merangsang bakat para mahasiswa/i di Indonesia. Ia menjelaskan, di aplikasi itu dilengkapi dengan bimbingan konseling, mentoring, webinar dan sharing bersama praktisi.

"Jadi kita ingin memperdalam bidang bakat atau kemampuan yang mereka (mahasiswa) tertarik," katanya.

Kemampuan yang terbilang mahir di bidang programing membuat Adithya didapuk menjadi senior mentor di salah satu perusahaan rintisan di Indonesia, Kotakode.

Ia mengaku kini sudah membantu lebih dari 3000 programer dalam negeri untuk menemukan jalan keluar atau memecahkan kode pemrograman ketika mengembangkan aplikasi.

Hal ini menurutnya sebagai salah satu cara yang dapat dia lakukan, untuk berbagi ilmu dan bersama-sama membangun iklim digital di Indonesia agar dapat berakselerasi dan cepat berkembang.

Walaupun kini ia masih duduk di bangku SMK, ia sudah bekerja paruh waktu untuk beberapa perusahaan digital dalam dan luar negeri. Saat ini ia juga tengah menjalani program magang dari sekolahnya, di salah satu perusahaan digital asal Jepang, di Jakarta.

Saat disinggung kapan waktu untuk bermain, Adithya menjawab dengan tertawa riang. Ia menyatakan meskipun di usia dini terbilang sibuk, namun ia masih tetap bisa bermain dengan kawan sebayanya.

"Kalo sibuk sih sibuk. Tapi tetep bisa main. Mainnya enggak ngomongin koding dan program kok," kelakarnya.

Meski dinobatkan sebagai senior mentor di perusahaan digital, dirinya tidak ingin puas begitu saja dalam menimba ilmu. Adithya berkeinginan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi, dan Universitas Gajah Mada (UGM) menjadi harapannya kelak.

"Inginya sih di UGM. Karena UGM itu impian saya dan kalau sekolah di sana biaya hidupnya murah," ujarnya.

Kini, ia ingin membuktikan pada Ayah dan almarhum Ibunya akan menjadi yang pertama dari keluarga besar yang bisa menjadi ahli IT dan mendalami teknologi Aritificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan.